Nuryani Mansur:
“Walladzina jaahadu fiina Lanahdiyannahum subulanaa: ”Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di jalan kami, niscaya akan Kami bukakan padanya jalan-jalan (keluar) Kami”.
Matahari mulai meninggalkan sore yang sarat makna ukhuwwah. Di langit nampak awan mendung bergelayutan. Namun terasa adanya kehangatan persaudaraan. Satu persatu teman-teman Nandar meninggalkan lapangan sepak bola yang berdebu dan pulang kerumah masing-masing untuk membersihkan diri lalu sholat. Selepas sholat, biasanya mereka nonton TV di rumah, atau di rumah tetanggga sebelah. Hanya sebagian kecil yang benar-benar mau tadarrus dan beranjak menuju madrasah untuk thalabul ilmi. Memang saat itu(dan sampai hari ini), pergi mengaji adalah tergolong aktivitas yang kurang diminati kalangan remaja. Jika ada yang mau ke madrasah, itupun setengah memaksa diri. Apalagi bila waktunya bersamaan dengan acara Nobar (Nonton Bareng) di tempat hajatan tetangga yang the have .
Kalo sudah begitu, maka kaki mereka seperti digandoli rantai besi; terasa berat sekali melangkah ke madrasah. Biasanya hanya tinggal 7 sampai 10 anak yang tetap istiqomah mengayunkan kakinya menuju Birrul Walidain; madrasah tempat Nandar dan teman-temanya menggali ilmu di kampungnya.
Seperti sore itu, mereka harus menguatkan diri, karena ketika berangkat harus melewati layar tancap yang sudah siap berdiri gagah di tengah jalan umum. Di beberapa titik strategis, sudah nampak para penjual jajanan yang menjajakan beraneka ragam makanan, baik ringan maupun berat: mulai sate kulit kambing atau sapi, es mamboo , lepet , es lilin, ada gorengan, nasi uduk , ketoprak, sayur ketupat serta banyak lainnya. Semua nampak menggoda selera. Lebih-lebih bagi teman-teman yang belum sempat mengganjal perutnya dengan makanan di rumah. Maka jajanan itu menjadi istimewa dan seperti memanggil-manggil perutnya yang sedang keroncongan.
“Kayaknya rameh banget ya?” komentar Subur, sahabat Nandar pada saat kami sedang asyik melangkahkan kaki menuju madrasah.
“Bener sekali Bur”. Sahut Topik menimpali ucapan Subur yang berada disandingnya.
“Gimana kalo kita mampir di acara ‘misbar’ ini dan bolos mengaji saja? Jika kita mengaji dulu nanti ketinggalan nonton film ‘Sibuta dari Gua Hantu’, itu film pertama yang akan diputar, kawan…”. Kalimat itu meluncur dari bibir Subur yang memang gandrung dengan tontonan gratis itu. Maklum ia juga sama seperti Nandar, hidup dengan ekonomi serba pas-pasan. Tak heran, kalo denger kata gratis, maka semangatnya menyala-nyala. Dan sebab itulah ia ingin mengurungkan niat mengaji sore itu.
“Tekad ane udah bulat. Saya tetep akan pergi ke madrasah. Saya lebih menyukai ilmu”. giliran Nandar yang angkat bicara. “Dan saya rasa orang yang mau kebaikan akan mengutamakan ilmu, memilih madrasah daripada film, ya gak?” Sambung Nandar meyakinkan teman-temannya. “Lagi pula kalo emang elu pengen, nanti sepulang ngaji kan masih diputar film laennya…” Ucap Udin yang berada disebelahnya ikut nimbrung.
“Bagaimana kita akan sampai ke puncak cita-cita kalau kita tidak punya ilmu memadai? Inilah tantangannya orang yang belajar, ustadz pernah bilang:Man jadda wajada”, jika pengen jadi orang besar, ya harus bersungguh-sungguh dan berjuang…berjuang melawan bisikan setan”. Sambung Udin menegaskan.
Teman-teman lainnya, mau tidak mau, harus mengikuti kata-kata bijak seniornya itu. Mereka merasa bersyukur mempunyai dua sahabat yang hebat itu. Kegigihinan mereka jarang dimilki orang kampung yang mayoritas lebih memilih bekerja di pabrik dan sibuk dengan dunia menonton dari pada belajar.
Mereka terus melangkah kaki di tengah-tengah gempuran godaan duniawi yang cukup menantang….menggiurkan. Ya, hari-hari mereka sering mengombang-ambingkan asanya. Kepahitan- kemanisan terus berganti. Menyaksikan pintu-pintu kefanaan dan kadang ingin mencoba memasukinya. Padahal ada racun yang terselip di dalamnya.
****
Jam menunjukkan pukul 18.15. Di serambi madrasah nampak beberapa santri yang baru datang dan duduk-duduk di atas langkan. Demikian juga santriwati, mereka nampak seru memainkan lompat tali dari karet gelang yang disambung dengan anyaman yang rapi. Namun ada beberapa teman Nandar yang tidak nampak di sana. Sebut saja Yanti, Millah, Iqbal, Romli, Syarifah dan Saiful. Mungkin mereka tergoda oleh rayuan pencinta Nobar tadi yang memang cukup menggiurkan.
“Teng-teng….teng-teng….” Bel masuk memecah keramaian dan keasyikan para santri. Semua bergegas masuk menuju kelas masing-masing. Mereka duduk rapi. Santri duduk di sebelah kanan sedangkan santriwati duduk di deretan sebelah kiri.
“Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh”. Ucap ustadz Nawawi MR menyapa para santri dan membuka pengajian sore itu.
Setelah membuka majlis ilmu dengan do’a, Beliau lalu memberi wejangan:“Anak-anakku, usia kalian masih muda. Coba tanyakan pada diri kalian sudah berapa kitab yang difahami, dikuasai kalian? Berapa kitab yang sudah dihafal? Banyak anak-anak yang belum sempurna ilmu agamanya, tetapi sering meninggalkan majlis ilmu ini. Para pecinta ilmu itu jumlahnya sedikit, tetapi mereka mampu memimpin dunia. Mereka bak lentera yang menyinari kegelapan malam. Anak-anakku…Ada tiga bencana akibat hidup tanpa ilmu: Kebodohan, kemiskinan dan kesesatan”. Ucap ustadz setelah melihat ada beberapa bangku yang kosong. Kalimat pembuka ini terdengar berwibawa bak air yang mengalir ke dalam dada mereka dan menguatkan hati mereka tentang fadhilah ilmu sekaligus menegaskan betapa mulianya para mujahid fi tholabil ilmi.
“Sebelum pelajaran dimulai, saya mengingatkan pada kalian semua: bahwa kesungguhan itu seperti barang antik dan mahal. Menjadi buah bibir banyak orang. Semua pelajar merindukkannya. Namun jarang sekali mereka menemukannya. Pun jika menemukannya, sedikit sekali yang mao memelihara dan menjaganya. Mereka Cuma sibuk merindukkan, masygul membicarakan. Tetapi takala berjumpa, mereka abai dan meninggalkannya”. Semua santri yang ada terdiam, terpana. “Kesungguhan itu harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Ia adalah tanda titik dalam sebuah paraghraf”. Demikian kalimat itu mengalir dari bibir ustadz yang mulia: pengajar agama dan ilmu Nahwu kami. Semua memperhatikannya dengan seksama seakan tidak mau ketinggalan satu patah katapun.
Selepas menyampaikan taushiyahnya, ustadz kami memulai dengan basmalah diikuti oleh para santri yang ada. Sore ini, kami akan belajar ilmu Nahwu setelah satu hari sebelumnya mengupas ilmu fiqh.
“Baiklah, sore ini kita akan mengupas bab Isim-isim yang dibaca rofa’, hadzal yaum sanadrus “al-lmarfuu’aat’”. Begitulah, ustadz kami selalu mencampur dua bahasa; Indonesia -Arab dalam menyampaikan pelajaran. Maklum, beliau adalah alumni sebuah perguruan Tinggi di Libiya. Dan inilah salah satu pemicu tumbuhnya benih kecintaan Nandar pada bahasa Arab lisan. Lalu kamipun sibuk membuka lembaran-lembaran kitab.
Madrasah inilah yang telah berjasa membekali Nandar dasar-dasar Ilmu Nahwu, sedangkan pondok Assalam kelak memberikan penguatannya sekaligus memperkayanya dengan bahasa lisan.
***
الجهد فقط
لا غير....
,
بقلم: نورياني منصور
"الجد و الصبر و الدعاء ثلاثة أمور للوصول
إلى النجاح". *منصور بن إذن، والد الكاتب
Biodata
Nuryani, lahir di Kota Tangerang Banten pada tanggal 03 Maret 1971. Ia anak ke-tujuh dari Sembilan bersaudara dari keluarga Mansur bin Ijin, dan Ibu Tasiyah binti H. Ahmad. Pendidikan formalnya dimulai di MI Darussalam II di selesaikan tahun 1986. Kemudian di Madrasah Tsanawiyah At-Taqwa Tangerang dan lulus pada tahun 1989. Dilanjutkan nyantri di KMI Gontor dan tamat pada 1995. Pendidikan sarjana-nya ditempuh di STAIN Tulungagung pada jurusan PBA dan selesai pada tahun 2000. Selanjutnya, ia mengikuti Pendidikan Pascasarjana (S-2) di Perguruan Tinggi yang sama pada jurusan Pendidikan Islam dan lulus tahun 2006. Saat ini masih menempuh Program Pascasarjana (S-3) di UIN Malang dengan konsentrasi pada jurusan PBA

Komentar
Posting Komentar